Prinsip bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk
berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya.Bahasa yang baik berkembang
berdasarkan suatu sistem, yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh
pemakainya. Bahasa sendiri berfungsi sebagai sarana komunikasi serta sebagai
sarana integrasi dan adaptasiMenurut Brown (2001) ada dua belas prinsip pengajaran bahasa dan keduabelas prinsip tersebut dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu: Kognitif, Afektif, dan Linguistik
Prinsip Prinsip Kognitif
Dikatakan prinsip kognitif karena pada umumnya berkaitan dengan fungsi mental dan intelektual. Menurut pandangan kognitif proses belajar yang terjadi dalam diri individu adalah suatu proses penerimaan informasi. Belajar dimulai dari input yang datang dari lingkungan diterima oleh panca indera, kemudian diproses dan disimpan di dalam memori dan output dari pembelajaran adalah berbagai kemampuan atau competencies. (Jamaris: 2010)
Ada lima prinsip kognitif, yaitu: Otomatisasi, Pembelajaran Bermakna, Antisipasi Penghargaan, Motivasi Intrinsik, dan Strategi Investasi. Berikut adalah uraian lebih detail tentang kelima prinsip kognitif tersebut.
1.
Otomatisasi
Anak biasanya memperoleh bahasa dari lingkungan. Pada awalnya anak anak mendengarkan dan mengamati orang lain yang menggunakan suatu bahasa dan tanpa disengaja apa yang didengar dan diamatinya tersebut akan masuk ke alam bawah sadarnya. Ketika akhirnya dia siap menggunakan bahasa maka dia akan mempraktekkan apa yang didengar atau diamatinya tersebut. Anak anak sering kali tidak memikirkan apa yang diucapkannya, dalam artian, mereka menggunakan bahasa secara otomatis tanpa takut membuat kesalahan.
Pembelajar bahasa, baik anak anak maupun orang dewasa, diharapkan dapat mengadaptasi cara seorang anak memperoleh bahasa dari lingkungan. Artinya, mereka harus mampu memproduksi bahasa tanpa memikirkan kata per kata, atau berfokus pada struktur dan bentuk kalimat.Dimulai dari memproses bahasa yang sepatah demi sepatah lambat laun menjadi lebih lancar dan otomatis.Dengan begitu bahasa yang dipelajari tidak hanya berupa pengetahuan tetapi merupakan kompetensi.
Yang perlu diperhatikan pada prinsip otomatisasi antara lain:
• Penyerapan bahasa secara tak sadar melalui komunikasi langsung di dalam kelas. pembelajar perlu difasilitasi dengan bahasa target dalam berbagai kesempatan. Belajar bahasa dimulai dengan mendengar, maka guru disini berperan sebagai Language Model. Guru menyampaikan pelajaran dengan bahasa target sekaligus menunjukkan bahasa yang benar pada siswa. Apabila terjadi pengulangan beberapa kata atau kalimat dalam pembelajaran, misalnya guru mengatakan, ”Clean the white board, please!”, ”Open your book page 21”, ”Be quiet, please!” pada awalnya mungkin siswa tidak mengetahui artinya, namun, apabila guru sering mengulang kalimat tadi, secara tidak sadar kalimat tadi akan masuk ke ingatan jangka panjangnya dan bertahan disana. Siswa juga akan menggunakan kalimat kalimat tersebut ketika berada pada situasi yang mirip atau serupa. Hal ini juga berlaku pada pembelajaran bahasa Indonesia.
• Penggunaan bahasa yang efisien dan lancar difokuskan pada maksud daripada bentuk.
Jane Willis dalam Hammer () mengatakan, ”Terkadang kami mempelajari bentuk kalimat setelah siswa menyelesaikan tugas mereka, hal ini dilakukan untuk memperbaiki kesalahan struktur yang dilakukan siswa dalam penggunaan bahasa ketika melakukan tugas, atau ketika dirasa siswa akan lebih leluasa menggunakan bahasa apabila tidak mengetahui struktur bahasa tertentu”. Dapat disimpulkan mengapa Jane Willis memberi penjelasan tentang struktur atau bentuk (grammar) adalah agar siswa lebih fokus pada penyampaian maksud daripada hanya berdiam diri karena takut membuat kesalahan.
• Menghindari analisis bentuk bahasa ketika memproduksi ujaran.
Prinsip otomatisasi tidak mengatakan bahwa berfokus pada bentuk bahasa akan berbahaya atau menghambat kelancaran penggunaan bahasa namun prinsip ini lebih menganjurkan pada pembelajaran yang bermakna dengan lebih menggunakan bahasa sebagaimana fungsinya (menyampaikan maksud, berkomunikasi) pada konteks otentik.
Beberapa implikasi dari prinsip otomatisasi pada
pembelajaran, antara lain:Anak biasanya memperoleh bahasa dari lingkungan. Pada awalnya anak anak mendengarkan dan mengamati orang lain yang menggunakan suatu bahasa dan tanpa disengaja apa yang didengar dan diamatinya tersebut akan masuk ke alam bawah sadarnya. Ketika akhirnya dia siap menggunakan bahasa maka dia akan mempraktekkan apa yang didengar atau diamatinya tersebut. Anak anak sering kali tidak memikirkan apa yang diucapkannya, dalam artian, mereka menggunakan bahasa secara otomatis tanpa takut membuat kesalahan.
Pembelajar bahasa, baik anak anak maupun orang dewasa, diharapkan dapat mengadaptasi cara seorang anak memperoleh bahasa dari lingkungan. Artinya, mereka harus mampu memproduksi bahasa tanpa memikirkan kata per kata, atau berfokus pada struktur dan bentuk kalimat.Dimulai dari memproses bahasa yang sepatah demi sepatah lambat laun menjadi lebih lancar dan otomatis.Dengan begitu bahasa yang dipelajari tidak hanya berupa pengetahuan tetapi merupakan kompetensi.
Yang perlu diperhatikan pada prinsip otomatisasi antara lain:
• Penyerapan bahasa secara tak sadar melalui komunikasi langsung di dalam kelas. pembelajar perlu difasilitasi dengan bahasa target dalam berbagai kesempatan. Belajar bahasa dimulai dengan mendengar, maka guru disini berperan sebagai Language Model. Guru menyampaikan pelajaran dengan bahasa target sekaligus menunjukkan bahasa yang benar pada siswa. Apabila terjadi pengulangan beberapa kata atau kalimat dalam pembelajaran, misalnya guru mengatakan, ”Clean the white board, please!”, ”Open your book page 21”, ”Be quiet, please!” pada awalnya mungkin siswa tidak mengetahui artinya, namun, apabila guru sering mengulang kalimat tadi, secara tidak sadar kalimat tadi akan masuk ke ingatan jangka panjangnya dan bertahan disana. Siswa juga akan menggunakan kalimat kalimat tersebut ketika berada pada situasi yang mirip atau serupa. Hal ini juga berlaku pada pembelajaran bahasa Indonesia.
• Penggunaan bahasa yang efisien dan lancar difokuskan pada maksud daripada bentuk.
Jane Willis dalam Hammer () mengatakan, ”Terkadang kami mempelajari bentuk kalimat setelah siswa menyelesaikan tugas mereka, hal ini dilakukan untuk memperbaiki kesalahan struktur yang dilakukan siswa dalam penggunaan bahasa ketika melakukan tugas, atau ketika dirasa siswa akan lebih leluasa menggunakan bahasa apabila tidak mengetahui struktur bahasa tertentu”. Dapat disimpulkan mengapa Jane Willis memberi penjelasan tentang struktur atau bentuk (grammar) adalah agar siswa lebih fokus pada penyampaian maksud daripada hanya berdiam diri karena takut membuat kesalahan.
• Menghindari analisis bentuk bahasa ketika memproduksi ujaran.
Prinsip otomatisasi tidak mengatakan bahwa berfokus pada bentuk bahasa akan berbahaya atau menghambat kelancaran penggunaan bahasa namun prinsip ini lebih menganjurkan pada pembelajaran yang bermakna dengan lebih menggunakan bahasa sebagaimana fungsinya (menyampaikan maksud, berkomunikasi) pada konteks otentik.
1. Biasanya pembelajaran bahasa dimulai dengan pengenalan pada sistem bahasa (struktur, fonologi, wacana, dll.) karena tidak ada peraturan yang melarang pembelajaran yang demikian. Namun, jangan sampai karena mempelajari bentuk siswa menjadi tidak otomatis dalam menggunakan bahasa.Beri penekanan lebih pada penyampaian maksud agar dapat menggunakan bahasa dengan lancar.
2. Pastikan pembelajaran bahasa berfokus pada penggunaan bahasa. Gunakan bahasa yang otentik pada setiap kesempatan (Hadley: 2001). Hadley juga menuliskan, ”Siswa harus terus didorong untuk mengekspresikan maksud mereka seawal mungkin setelah keterampilan produktif (berbicara, menulis) dipelajari”. Dengan menggunakan bahasa sesuai konteks (seperti berbicara tentang hobi, cita cita, harapan, dll.), siswa akan lebih leluasa menyampaikan pendapat dan maksud. Pembelajaran yang demikian juga akan bertahan di memori jangka panjang.
3. Otomatisasi tidak dapat dicapai dalam semalam, maka, guru perlu melatih siswa dengan sabar dan terus membantu mereka mencapai kefasihan.
2. Pembelajaran Bermakna
Brown (2007) mengatakan bahwa situasi pembelajaran bisa bermakna jika (1) pembelajar memiliki perangkat pembelajaran bermakna, yaitu sebuah kecenderungan untuk mengaitkan kegiatan pembelajaran baru dengan apa yang telah mereka ketahui, dan (2) kegiatan pembelajaran itu sendiri punya kemungkinan bermakna bagi pembelajar, yaitu bisa dihubungkan dengan struktur pengetahuan pembelajar. Proses pada pembelajaran bermakna mirip dengan pendekatan pemrosesan informasi yang menyatakan bahwa murid mengolah informasi, memonitornya, dan menyusun strategi berkenaan dengan informasi tersebut. Inti dari pendekatan ini adalah proses berpikir. (Santrock: 2007).
Pembelajaran bermakna merupakan tantangan bagi pembelajaran hafalan yang merupakan proses penguasaan materi secara terpisah pisah dan acak, yang tidak memungkinkan pembentukan makna. Pembelajaran bermakna akan bertahan lebih lama di ingatan siswa.
Beberapa implikasi dari prinsip pembelajaran bermakna pada pembelajaran, antara lain:
1. Ajak siswa berbicara tentang bakat, minat, harapan, dan pandangan mereka tentang sesuatu agar mereka terdorong untuk berbicara.
2. memberikan scaffolding, menjembatani siswa dengan pengetahuan sebelumnya sebelum memperkenalkan pengetahuan selanjutnya, agar siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan mudah.
3. Hindari teknik yang sering dipakai pada pembelajaran hapalan, seperti:
a. Terlalu banyak penjelasan tentang struktur atau bentuk bahasa.
b. Terlalu banyak teori dan prinsip bahasa.
c. Terlalu banyak latihan (drilling) dan hafalan.
d. Kegiatan pembelajaran yang tidak jelas.
e. Kegiatan pembelajaran yang hanya merupakan kumpulan pengetahuan dan tidak bermakna.
3. Antisipasi Penghargaan
Manusia secara umum dikendalikan oleh ”reward” tertentu dalam melakukan sesuatu. Manusia melakukan sesuatu karena memiliki maksud dan tujuan.Hal itu adalah hasil dari perilaku seperti teori Skinner tentang operant conditioning. Dalam pembelajaran, penghargaan (reward) seringkali membuat siswa semangat untuk belajar, hanya saja ketika guru tidak lagi memberi suatu reward, maka siswa akan kurang termotivasi. Apabila siswa tidak memiliki motivasi untuk belajar tentu saja tujuan pembelajaran tidak akan tercapai.
Beberapa implikasi dari prinsip ini pada pembelajaran, antara lain:
1. memberikan reinforcement dalam bentuk verbal (pujian) atau nonverbal (acungan jempol) daripada materi. Tapi hindari pujian yang berlebihan karena akan membuatnya menjadi tidak bermakna. Pemberian reinforcement cukup ditujukan untuk membuat siswa tetap termotivasi.
2. Beri dorongan pada siswa untuk saling memuji atau memberikan motivasi.
3. Pada kelas dengan tingkat motivasi yang sangat rendah, guru dapat memberikan reward berupa gambar atau sticker lucu agar siswa lebih termotivasi.
4. Jadilah guru yang dapat menarik perhatian siswa. Menciptakan suasa kelas yang menyenangkan dengan memvariasikan metode pengajaran dan memfasilitasi pengajaran dengan alat bantu belajar yang menimbulkan semangat belajar siswa.
5. Memberitahu siswa kegunaan jangka panjang penguasaan bahasa yang mereka pelajari dengan menunjukkan apa apa saja yang bisa mereka raih dan dapatkan di masa mendatang apabila mereka dapat menggunakan bahasa tersebut dengan baik.
4. Motivasi Intrinsik
Motivasi Intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri). Misalnya, murid mungkin belajar menghadapi ujian karena dia senang pada mata pelajaran yang diujikan itu. (Santrok: 2007). Reward yang paling kuat adalah yang berasal dari diri sendiri. Apabila siswa memiliki motivasi intrinsik, maka tanpa ada penghargaan dari guru pun siswa akan tetap belajar. Mereka bahkan tidak butuh guru lagi!.
Untuk itu, peran guru dalam menangani siswa dengan motivasi intrinsik yang tinggi adalah dengan pertama tama mencari tahu apa yang mendasari motivasi intrinsik siswa. Dengan mengetahui alasannya, maka guru akan dapat memilih kegiatan pembelajaran atau metode pengajaran yang merespon kebutuhan siswa sekaligus memupuk motivasi mereka.
5. Hubungan Bahasa dan Budaya (The Language-Culture Connection)
Prinsip ini berfokus pada hubungan kompleks antara bahasa dan budaya. Dalam kehidupan manusia, bahasa dan budaya merupakan dua hal yang tak terpisahkan karena bahasa termasuk bagian dari budaya, sehingga menjadi sangat penting dalam pembelajaran bahasa kedua.Sebaliknya, bahasa juga merupakan faktor penting dalam pengembangan dan pemertahanan budaya.
Budaya mengacu kepada gagasan, kebiasaan, keterampilan, seni, dan piranti yang mencirikan sekelompok orang dalam sebuah periode waktu tertentu. Budaya melibatkan sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku yang dianut bersama oleh sebuah kelompok tetapi dijaga secara berbeda oleh setiap unit spesifik di dalam kelompok yang bersangkutan, dikomunikasikan lintas generasi, relatif stabil tetapi mempunyai peluang untuk berubah seiring waktu (Matsumoto, 2000 dalam Brown, 2007:206-207).
Pendidikan bahasa kedua masih didominasi oleh pandangan esensialis budaya di mana sikap dan kemampuan bahasa siswa sangat dipengaruhi oleh stereotip, budaya, etnis, regional, atau agama mereka.Untuk mengatasi ini, diperlukan pendekatan desentralisasi dan lokalitas, di mana guru dan siswa mengenali dan memahami keragaman dan kompleksitas budaya mereka.
Apabila seseorang guru mengajarkan suatu bahasa, maka guru juga mengajarkan sistem yang kompleks dari adat, budaya, nilai, dan cara berpikir, merasa, dan bertindak penutur asli bahasa tersebut. Bahasa dan budaya saling terkait, oleh karena itu, jika seseorang berhasil belajar suatu bahasa, dia juga belajar sesuatu dari budaya si penutur asli bahasa itu. Dengan kata lain, pemahaman lintas-budaya merupakan aspek penting dalam belajar bahasa.
Implikasinya dalam pengajaran:
1. Guru bahasa dapat membahas perbedaan lintas-budaya dengan siswa dengan menekankan bahwa tidak ada budaya yang lebih baik daripada budaya yang lain dan menekankan bahwa mempelajari budaya bahasa target adalah penting untuk praktiknya nanti.
2. Guru juga dapat menggunakan bahan-bahan tertentu yang menggambarkan hubungan antara bahasa dan budaya serta membahas aspek sosiolinguistik bahasa. Seperti mengambil bahan untuk materi ajar tentang kebudayaan dari majalah ataupun media lainnya.
3. Untuk membuat pengajaran lebih hidup guru juga dapat menampilkan tayangan yang berkenaan dengan aspek budaya, dan sebagainya. Seperti menampilkan video tentang kebiasaan atau hal-hal yang lazim yang sering dilakukan oleh pengguna bahasa target.
4. Selain memperkenalkan budaya bahasa target guru juga memperkenalkan budaya bahasa sendiri dan membandingkan perbedaan-perbedaannya.
Prinsip-prinsip Linguistik
Kategori ini
berpusat pada bahasa itu sendiri dan bagaimana peserta didik memahami sistem
linguistik yang kompleks. Berdasarkan teori-teori kebahasaan, dirumuskan
prinsip-prinsip mengenai pengajaran bahasa, antara lain kemampuan berbahasa
adalah sebuah proses kreatif, maka siswa harus diberi kesempatan yang luas
untuk mengkreasi ujaran-ujaran dalam situasi komunikatif yang sebenarnya, bukan
sekedar menirukan dan menghafalkan, pemilihan materi pelajaran pada kebutuhan
komunikasi dan penguasaan fungsi-fungsi bahasa, dan kaidah-kaidah dapat
diberikan sepanjang hal itu diperlukan oleh siswa sebagai landasan untuk dapat
mengkreasi ujaran-ujaran sesuai dengan kebutuhan komunikasi.
Ada tiga prinsip pengajaran bahasa yang termasuk ke dalam kelompok linguistik ini, yaitu prinsip pengaruh bahasa ibu, prinsip antarbahasa, dan prinsip kompetensi komunikatif.
Ada tiga prinsip pengajaran bahasa yang termasuk ke dalam kelompok linguistik ini, yaitu prinsip pengaruh bahasa ibu, prinsip antarbahasa, dan prinsip kompetensi komunikatif.
6. Pengaruh Bahasa Ibu
Prinsip ini menekankan pentingnya bahasa ibu siswa dalam upaya mempelajari bahasa kedua karena bahasa ibu siswa memberikan pengaruh yang kuat terhadap akuisisi sistem bahasa target. Pengaruh ini dapat bersifat mendukung atau mengganggu proses produksi dan pemahaman bahasa yang baru, dan ternyata efek mengganggu cenderung lebih menonjol.
Ada dua bentuk pengaruh bahasa ibu yaitu interfering and facilitating. Dalam hal ini dimisalkan bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia dan bahasa target adalah bahasa Inggris. kesamaan pola kalimat bahasa Indonesia dan bahasa Inggris membantu siswa dalam menganalisis kalimat-kalimat pada bahasa target. Sebaliknya, perbedaan pola frase nomina yang diterangkan oleh adjektiva yang berlawanan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sering kali menyulitkan bagi siswa yang berbahasa Indonesia mempelajari bahasa Inggris. Misalnya pada kata rumah besar dalam bahasa Indonesia dan big house dalam bahasa Inggris. dengan mengetahui dua bentuk pengaruh ini guru dapat mengidentifikasi kesalah siswa dalam menggunakan bahasa target yang disebabkan oleh pengaruh bahasa ibu.
Implikasi dalam pengajaran:
1. Guru seharusnya mengagap kesalahan siswa sebagai jendela yang menjadi dasar dalam memberikan umpan balik yang tepat kepada siswa. Setiap kesalahan yang dilakukan oleh siswa harus dikomentari oleh guru dan diberi penjelasan tentang hal yang benarnya.
2. Memberi pemahaman kepada siswa bahwa tidak semua sistem bahasa ibu mereka akan menyebabkan kesalahan pada bahasa target. Memberi pemahaman juga bahwa bahasa ibu dapat memfasilitasi mereka menggunakan bahasa target dan mengurangi interferensinya.
3. Mengajak siswa untuk berpikir dalam bahasa kedua, bukan mencari terjemahan kata atau frase, tetapi lebih baik menggunakan langsung dari bahasa kedua.
7. Antar Bahasa (Interlanguage)
Prinsip antarbahasa ini menekankan adanya pengaruh bentuk-bentuk bahasa terhadap bahasa yang lain. Pembelajar bahasa kedua cenderung mendapatkan pengaruh dari bentuk-bentuk bahasa terdahulu saat mereka berusaha untuk menguasai bahasa kedua.Terkadang bahasa asli ditransfer secara negatif, maka terjadilah interferensi.Akan tetapi, penting juga untuk diingat bahwa bahasa asli pembelajar bahasa kedua sering juga ditransfer secara positif sehingga memudahkan dalam belajar bahasa kedua.
Interferensi bahasa merupakan sumber kesalahan yang paling mencolok di kalangan pembelajar bahasa kedua. Sering kali, siswa beranggapan apa yang mereka pahami atau katakan adalah benar, tetapi dari sudut pandang penutur asli, belum tentu benar. Misalnya, seorang pelajar mengatakan “Does John can sing?” Mungkin pelajar ini yakin bahwa dia sudah menggunakan gramatika yang benar karena berdasarkan pemahaman bahwa pertanyaan dalam bahasa Inggris memerlukan auxiliary do. kajian antarbahasa memang sering menghasilkan analisis kesalahan, untuk itu guru harus mampu membedakan setiap kesalahan agar mudah untuk memberikan penjelasan untuk perbaikan nantinya.
Implikasi dalam pengajaran:
1. Guru membedakan antara kesalahan interlanguage dan kesalahan lainnya.
2. Memberi toleransi untuk bentuk kesalahan interlanguage tertentu yang mungkin timbul dari proses perkembangan logis siswa.
3. Tidak membuat siswa merasa bodoh karena kesalahan interlanguage; misalnya dengan mengatakan “I can understand why you said ‘I go to the doctor yesterday’, but try to remember that in English we have to say the verb in the past tense. Okay?”
4. Memberikan umpan balik kepada siswa dan member pesan bahwa melakukan kesalahan bukanlah sesuatu yang buruk. Karena dari kesalahan dapat membuat pemahaman yang kuat pada bahasa target.
5. Menciptakan kegiatan dimana siswa dapat mengoreksi kesalahannya sendiri.
6. Guru sebagai penilai harus mampu menyeleksi tiap kesalahan dan memaparkan kesalahan dengan bijak dan tidak menyudutkan siswa.
8. Kompetensi Komunikatif
Prinsip ini menekankan bahwa kompetensi komunikatif merupakan tujuan dari kelas bahasa. Mengingat bahwa kompetensi komunikatif adalah tujuan dari kelas bahasa, pembelajaran perlu menunjuk ke arah semua komponennya: organisasi, pragmatis, strategis. dan psikomotor. Tujuan komunikatif akan tercapai dengan baik melalui penggunaan bahasa yang tidak hanya untuk tujuan akurasi tetapi juga untuk kefasihan atau kelancaran dan kegunaannya di dunia nyata.
Beberapa hal yang harus menjadi pertimbangan dalam menerapkan prinsip ini dalam kelas bahasa:
1. Penjelasan tata bahasa hanya bagian dari sebuah pelajaran atau kurikulum, sehingga jangan mengabaikan komponen penting lainnya (misalnya, fungsional, sosiolinguistik, psikomotor, dan strategis) dari kompetensi komunikatif.
2. Jangan lupa mengajarkan kemampuan psikomotor (pengucapan) karena terlalu antusias mengajar aspek fungsional dan sosiolinguistik. Misalnya, melatih pronunciation dan intonasi berbicara dalam bahasa target.
3. Pengajaran bahasa menekankan pada autentisitas, interaksi, dan komunikasi untuk kepentingan sehari-hari. Contohnya mengajarkan bagaimana cara menanyakan informasi dalam bahasa target dan lain sebagainya.
4. Siswa harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan kefasihan dalam bahasa Inggris tanpa harus terus waspada terhadap kesalahan-kesalahan kecil karena sesungguhnya mereka belajar dari kesalahan-kesalahan itu.
5. Mempersiapkan siswa menjadi pembelajar mandiri nantinya ketika sudah selesai dari kelas yang guru ajarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar