BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sastra
merupakan suatu kata yang sampai saat ini belum ada yang mampu menafsirkan
secara tepat tentang pengertiannya, bahkan kata tersebut sampai saat ini masih
menjadi bahan pertanyaan para ilmuan demi untuk mencari keselarasan pengertian
yang tepat. Menurut Teeuw (2002: 23) kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal
dari bahasa sansekerta; akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti
mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra biasanya
menunjukkan alat, sarana. Maka, berdasarkan penggabungan tersebut sastra dapat
berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau alat
pengajaran.
Kalau kita
berbicara tentang sastra dan karya sastra, maka tidak akan terlepas dari
angkatan dan penulisan sejarah sastra Indonesia, juga karakteristik wawasan
estetikanya. Hal itu disebabkan karena sastra (Kesusastraan) dari waktu-kewaktu
pasti akan mengalami perkembangan sesuai periode-periode sastra. Rangkaian
periode-periode sastra itu saling bertumpang-tindih, maksudnya sebelum angkatan
kemarin atau angkatan lama lenyap, maka timbul benih-benih baru yang lebih
kritis dan kreatif.
Setiap angkatan dalam suatu
periodisasi sastra pasti memiliki karakteristik tersendiri. kata karakteristik. Karakteristik berasal dari kata dasar karakter. Menurut
Poerwadarminta (1984: 445) karakter adalah tabiat, watak, sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yan membedaka seseorang dengan yang lain. Sehingga
dapat diambil kesimpulan bahwa karakteristik dalam sastra adalah sifat yang
membedakan suatu karya sastra dengan karya sastra yang lain. Apabila
dihubungkan dengan suatu angkatan maka karakteristik sastra angkatan balai
pustaka adalah sifat-sifat yang membedakan baik karya sastra maupun pengarangnya
dalam satu angkatan itu dengan angkatan yang lain, Seperti yang telah kita
ketahui, definisi karya sastra adalah suatu karya yang mengandung nilai seni
dan mengarah kepada pedoman-pedoman serta pemikiran-pemikiran hidup. Sedangkan Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di
wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra
berbahasa akarnya, yakni bahasa melayu.
Sastra di
Indonesia sudah ada sejak dulu sekali bahkan mungkin sudah ada sejak zaman purbakala
dimana manusia-manusia purba memulai untuk menggambar dan menulis sesuatu di
dalam gua-gua, sehingga menghasilkan karya-karya sastra. Tetapi karya-karya
tersebut kemudian menghilang karena perkembangan zaman yang mungkin kurang
maju. Lebih pastinya karya sastra di Indonesia dimulai sejak zaman “Angkatan
Pujangga Lama” sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya sastra Indonesia
didominasi oleh karya-karya sastra berbahasa akar (bahasa melayu), seperti
syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Budaya melayu klasik dan pengaruh Islam
yang kuat mempengaruhi sebagian besar wilayah pesisir pantai Sumatera dan
Semenanjung Malaya. Setelah adanya “Angkatan Pujangga Lama”, muncul lah
“Angkatan Sastra Melayu Lama” yang muncul antara sekitar tahun 1870-1942.
Setelah “Angkatan Sastra Melayu Lama”, muncul lah “Angkatan Balai Pustaka” yang
akan saya bahas dalam makalah ini.
Sebenarnya angkatan ini
dipelopori oleh sebuah penerbit “Balai Pustaka” pada tahun 1920-1950. Karya ini
terdiri dari prosa (roman, cerita pendek, novel, dan drama) dan puisi yang
menggantikan syair, pantun, gurindam, dan hikayat yang mungkin pada masa itu
terlalu memberi pengaruh buruk, banyak menyoroti kehidupan cabul, dan dianggap
memiliki misi politis. Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu
bahasa Melayu-Tinggi, bahasa jawa dan bahasa sunda, dan dalam jumlah terbatas
dalam bahasa bali, bahasa batak, dan bahasa Madura. Angkatan Balai Pustaka bisa
disebut masa dimana proses modernisasi karya-karya sastra terjadi. Dimana tidak
lagi terpaut oleh budaya-budaya melayu yang kental.
Balai
Pustaka merupakan suatu angkatan yang sangat berpengaruh kepada perkembangan
perpustakaan baru terutama yang tertulis dengan huruf latin (Usman, 1979: 15).
Hal itu tercermin dengan pindahnya pusat perhatian orang-orang yang berminat
kepada kesusastraan ke Balai Pustaka (Jakarta) yang berpengaruh pada
perkembangan bahasa dari bahasa melayu baru (yang banyak dipengaruhi oleh
bahasa-bahasa daerah dan bahasa surat kabar) kemudian menjelma menjadi bahasa
Indonesia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka hati para penulis
untuk mau memperlihatkan hasil karyanya yang dulunya menggunakan bahasa daerah
kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa bangga
berbangsa Indonesia. Saelain itu, dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka
telah membuka semangat dan kesadaran para penulis untuk mempersatukan
daerah-daerahnya demi keutuhan bangsa Indonesia. Disisi lain
Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama suatu penerbit besar yang berdiri pada
sekitar tahun 1920an yang pada tahun tersebut beriringan dengan munculnya
angkatan Balai Pustaka. Munculnya angkatan Balai Pustaka memang disesuaikan
dengan karya-karya besar yang terkenal pada waktu itu yang sebagian besar
diterbitkan dari penerbit Balai Pustaka Jakarta.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalan yang
telah diungkapkan dalam latar belakang masalah, maka penulis ingin mengantarkan
rumusan masalah sebagai berikut:
A. Apa sejarah angkatan Balai Pustaka ?
b. Mengapa disebut angkatan Balai Pustaka ?
c.
Siapa tokoh-tokoh angkatan Balai Pustaka dan apa saja hasil karya yang
dihasilkannya ?
d. Bagaimana karakteristik angkatan Balai Pustaka ?
e. Apa saja tema karya sastra angkatan balai
pustaka ?
f. Apa Pengaruh Angkatan 20 ( Balai Pustaka ) Pada
Beberapa Ragam Karya Sastra
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru
tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja
untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah
bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie
voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti
nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan
yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem
pendidikan Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai
beberapa strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu:
1. merekrut dewan redaksi secara
selektif
2. membentuk jaringan distribusi
buku secara sistematis
3. menentukan kriteria literer
4. mendominasi dunia kritik
sastra
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai
bahasa Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain
seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal
Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu Riau,
dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan
Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang
berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun
1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren
baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai
bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu:
1. Gaya Bahasa
: Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
2. Alur
: Alur Lurus.
3. Tokoh
: Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
4. Pusat Pengisahan
: Terletak pada orang ketiga dan orang
pertama.
5. Terdapat digresi
: Penyelipan/sisipan yang
tidak terlalu penting, yang dapat
menganggu kelancaran teks.
6. Corak
: Romantis sentimental.
7. Sifat
: Didaktis (pendidikan)
8. Latar belakang sosial :
Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
9. Peristiwa yang diceritakan
saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
10. Puisinya berbentuk syair dan pantun.
11. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa,
permaduan, dll.
12. Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
b.
Mengapa Disebut Angkatan Balai Pustaka ?
Balai Pustaka disebut angkatan 20an atau populernya dengan sebutan angkatan
Siti Nurbaya. Menurut Sarwadi (1999: 25) nama Balai Pustaka menunjuk pada dua
pengertian:
Ø Sebagai nama penerbit
Ø Sebagai nama suatu angkatan dalam sastra Indonesia
Menurut Sarwadi (1999: 27)
Balai Pustaka mempunyai pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia yaitu
dengan keberadaanya maka sastrawan Indonesia dapat melontarkan apa yang menjadi
beban pikirannya melalui sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh dirinya
sendiri dan juga orang lain (penikmat sastra). Balai Pustaka mempunyai tujuan
untuk memberikan konsumsi berupa bacaan kepada rakyat yang berisi tentang
politik pemerintahan kolonial, sehingga dengan hal itu Balai Pustaka telah
memberikan informasi tentang ajaran politik kolonial. Berdasarkan penyataan
tersebut maka dengan didirikannya Balai Pustaka telah memberikan manfaat kepada
rakyat Indonesia karena sasrta Indonesia menjadi berkembang.
Dilihat dari
perkembangan sastranya, Balai Pustaka yang memiliki maksud dan tujuan
pendiriannya, maka pasti menetapkan persyaratan-persyaratan didalam menyaring
suatu karya sastra. Dengan adanya persyaratan-persyaratan tersebut maka menimbulkan berbagai macam pandangan orang terhadap Balai Pustaka. Hal itu
merupakan suatu kelemahan atau permasalahan dari balai Pustaka yang kurang
diperhatikan keberadaannya. Menurut Sarwadi (1999: 29) permasalahan itu
diantanya meliputi:
·
Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 20an ialah Salah
Asuhan karya Abdul Muis. Dalam karya itu pengarang lerbih realistis didalam
menyoroti masalah kawin paksa. Selain itu berisi juga tentang pertentangan
antara kaum muda dengan kaum tua dalam pernikahan. Yang menjadi permasalan bagi
pengarang ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang
masuk dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial
Belanda.
·
Novel Belenggu karya Armin Pane pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena
isinya dianggap tidak bersifat membangun dan tidak membantu budi pekerti.
Kemudian noel itu disadur oleh Pujangga Baru tahun1938, dan dicetak ulang oleh
Balai Pustaka.
c. Tokoh-tokoh angkatan Balai Pustaka beserta hasil karyanya
Menurut
Rosidi (1986: 37) tokoh-tokoh yang termasuk dalam angkatan Balai Pustaka
diantaranya adalah:
1. Nur Sutan Iskandar
Lahir di
Maninjau tahun 1893
Hasil
karyanya:
a. Karangan asli
Salah pilih (dikarang dengan
nama samaran Nur Sinah tahun 1928), Karena Mertua (tahun 1932), Hulubalang Raja
(novel sejarah oleh Teeuw dipandang yang terbaik), Katak Hendak Jadi lembu,
Neraka Dunia (1973), Cinta tanah Air (novel yang terbit pada jaman Jepang
tahun1944), Mutiara (1946), Cobaan (1947), Cinta dan Kewajiban (dikarang
bersama dengan I.Wairata).
b. Karangan terjemahan
Anjing Setan
– A. Canon Doyle, Gidang Intan Nabi Sulaiman – Rider Haggard, Kasih Beramuk
dalam Hati – Beatrice Harraday, Tiga Panglima Perang - Alexander Dumas, Graaf
De Monto Cristo – Alexander Dumas, Iman dan Pengasihan – H Sien Klewiex,
Sepanjang Gaaris kehidupan – R Casimir.
c. Karangan saduran
Pengajaran
Di Swedwn – Jan Lightair, Pengalaman Masa Kecil – Jan Lighard, Pelik-pelik
Kehidupan – Jan Lighard, Si Bakil – Moliere Lavare, Abu Nawas, Jager Bali,
Korban Karena Penciiptaan, Apa Dayaku karena Aku Seoarng Perempuan, Dewi Rimba
d. Catatan harian
Ujian Masa
(21-7-1947 s/d 1-4-1948)
2. Abdul Muis
Lahir di
Minangkabau
Hasil
karyannya : Salah Asuhan (1928), Pertemuan Jodoh (1933), Suropati (1950) -
novel sejarah, Robert Anak suropati (1953) – novel sejarah, Sebatang Kara
(Hector Mallot) – karangan terjemahan.
3. Marah Rusli
Lahir di
Padang 7 Agustus 1989 dan meninggal di Bandung 17 Januari 1968.
Karya-karyanya: Siti Nurbaya (1922) – Sub judul Kasih Tak Sampai, Anak dan Kemenakan (1956), Memang Jodoh – La Harni (1952).
Karya-karyanya: Siti Nurbaya (1922) – Sub judul Kasih Tak Sampai, Anak dan Kemenakan (1956), Memang Jodoh – La Harni (1952).
4. Aman Datuk Majaindo
Lahir di
Solok pada tahun 1896.
Karya-karyanya:
Si Doel Anak Betawi (cerita anak-anak), Anak Desa (cerita anak-anak), Si Cebol
Rindukan Bulan (1934), Menebus Dosa, Perbuatan Dukun - Rusmala dewi (dikarang
bersama S. Harja Sumarta), Sebabnya Rapiah Tersesat (1934), Syair Si Banso
(Gadis Durhaka) terbit tahun 1931 – Kumpulan Syair, Syair Gul Bakawali (1936) –
Kumpulan Syair.
5. Muhammad Kasim
Lahir tahun
1886
Karya-karyanya
: Pemandangan Dunia Anak-anak, Teman Dukun (kumpulan cerpen), Muda Terung,
Pengeran Hindi, Niki Bahtera.
6. Tulis Sutan Sati
Hasil
karyanya:
·
Karangan yang berbentuk novel:
Tidak Membalas Guna (1932), Memutuskan Pertalian (1932), Sengsara Membaaw Nikmat (1928).
Tidak Membalas Guna (1932), Memutuskan Pertalian (1932), Sengsara Membaaw Nikmat (1928).
·
Cerita lama yang disadur dalam bentuk syair:
Siti Marhumah yang Saleh, Syair Rosida.
Siti Marhumah yang Saleh, Syair Rosida.
·
Hikayat lama yang ditulis kembali dalam bentuk prosa liris:
Sabai Nan Aluih
Sabai Nan Aluih
7. Selasih dan Sa’adah Alim
Selasih
sering memakai nama samaran Seleguri atau Sinamin. Lahir tahun
1909
Karya-karyanya : Kalau Tak Ujung (1933), Pengaruh Keadaan (1973). Sa’adam
Alim
Karya-karyanya:
Pembalasannya (1941) – sebuah sandiwara, Taman Penghibur Hati (1941) – kumpulan
cerpen, Angin Timur angina Barat (Preal S. Buck) – karya terjemahan.
8. Merari Siregar
Hasil
karyanya: Azab dan Saengsara (1920)
9. I Gusti Njoman Pandji Tisna
Karya-karyanya:
Ni Rawi Ceti Penjual Orang (1935), I Swasta Setahun di Bedahulu (1941), Sukreni
Gadis Bali, Dewi Karuna (1938), I Made Widiadi (Kembali Kepada Tuhan)
10. Paulus Supit
Hasil
karyanya: Kasih Ibu (1932)
11. Suman H.S
Lahir di
Bengkalis
Karya-karyanya:
Kasih Tak Terlarai (1929), Percobaan Saetia (1931), Mencari Pencuri Anak
Perawan (1932), Kawan Bergelut (1938) – Kumpulan Cerpen.
d. Karakteristik Angkatan Balai Pustaka
Yang
menonjol pada masa lahirnya sastra angkatan Balai Pustaka ialah cita-cita
masyarakat dan sikap hidup serta adat istiadat (Sarwadi, 1999: 31). Hal itu
tervermin oleh kesadaran masyarakat khususnya para penulis akan pentingnya
persatuan demi terciptanya kesatuan bangsa yang diperlihatkan melalui karya
sastra yang telah memperegunaklan bahasa persatuan Indonesia akan tetapi dengan
hal tersebut tidak memperlihatkan bahwa setiap masyarakat Indonesiatelah
meninggalkan adat istiadanya namun dengan keaneka ragaman adapt istiadatnya
menjadikan suatu alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Berdasarkan hal
tersebut maka sifat-sifat khas angkatan Balai Pustaka adalah:
1)
Sebagian besar sastra angkatan Balai Pustaka mengambil tema masalah kawin
paksa (Menurut masyarakat perkawinan itu urusan orang tua, pihak orang tua
berkuasa sepenuhnya untuk menjodohkan anaknya).
2)
Latar belakang sosial sastra angkatan Balai Pustaka berupa pertentanga
paham antara kaum muda dengan kaum tua. Kita bisa mengaambil contoh novel Salah
Asuhan, Si Cebol Rindukan Bulan, yang memiliki kecenderungan simpati kepada
yang lama, bahwa yang baru tidak semuanya membawa kebaikan.
3)
Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas. Pelaku-pelaku
novel angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan tokoh-tokoh yang
berasal dari daerah-daerah.
4)
Peristiwa yang diceeeritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
5)
Analisis psikologis pelakunya belum dilukiskan secara mendalam.
6)
Sastra Balai Pustaka merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis yaitu
lebih cenderung pada sesuatu khususnya mengenai permasalahan diatas sehingga
terlihat seolah-olah karyanya hanya itu-itu saja/monoton.
7)
Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan
perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa melayu umum.
8)
Genre sastra Balai Pustaka berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa
pantun dan syair.
Ciri-ciri
Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka
Selain mengambil latar
belakang kehidupan masyarakat Minangkabau, pada sebagian karya sastranya, masih
terdapat beberapa ciri-ciri lainnya yang cukup mencolok di antara karya sastra
lainnya, di antaranya adalah:
1.
Karya sastra angkatan balai pustaka pada umumnya hanya berceritakan
mengenai kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
sehari-hari.
2.
Karya-karya pada angkatan balai pustaka juga tidak berbicara mengenai
politik, kemiskinan, dan nilai-nilai sekularisasi.
3.
Para penulisnya lebih bersifat kompromistis terhadap keadaan politik pada
masa itu, pengarang berusaha untuk bersikap ramah dan baik terhadap pemerintah
kolonial agar karya-karya yang mereka hasilkan dapat diterbitkan.
Karya-karya yang ada pada
angkatan balai pustaka memang dibuat sedemikian rupa agar tidak menyinggung
perpolitikan kaum kolonial. Karya-karya dari balai pustaka disortir secara
ketat untuk mengurangi kemungkinan ada karya-karya yang berbau menentang
pemerintahan kolonial. Contoh paling dekatnya adalah
karya Siti Nurbaya. Dalam karya tersebut kita dapat melihat
bahwa Syamsul Bahri yang diposisikan sebagai tokoh protagonis lebih memilih untuk
menjadi bagian dari tentara kolonial demi membalaskan amarahnya ke Datuk
Maringgih. Syamsul Bahri dalam roman tersebut terkesan tidak nasionalis,
sedangkan Datuk Maringgih berada pada pihak yang membangkang aturan-aturan
kolonial terlepas dari sifatnya yang buruk dan licik. Hal ini bukan dikarenakan
tidak adanya rasa nasionalisme pada diri bangsa Indonesia, namun lebih didasari
atas aturan ketat syarat pempublikasian karya sastra yang diatur oleh pihak
penerbit balai pustaka. Adapun aturan-aturan tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Netral dari visi dan misi yang berkaitan dengan ajaran agama.
2.
Netral dari visi dan misi yang berkaitan dengan propaganda politik.
3.
Karya yang akan diterbitkan adalah karya yang memiliki nilai mendidik.
Karena
syarat dan ketentuan yang ketat dari pihak penerbit balai pustaka, maka tidak
kita temukan karya-karya yang mengacu kepada kritikan terhadap perpolitikan
kaum kolonial pada masa itu. Karya-karya tersebut terlebih dahulu disaring agar
bisa lulus penyeleksian karya-karya yang akan dipublikasi.
e. Tema-tema Karya Sastra
Angkatan Balai Pustaka
Selain
memiliki ketentuan kepenulisan yang terbebas dari propaganda politik dan ajaran
agama, kesusastraan angkatan balai bahasa juga mulai mengangkat tema-tema yang sebelumnya
belum diterapkan dalam kesusastraan melayu.
Tema-tema yang biasa diangkat
dalam karya-karya angkatan balai pustaka adalah:
1)
Adat kawin paksa,
2)
Otoriter orang tua dalam menentukan perjodohan anak-anak mereka,
3) Konflik diantara kaum tua dan
kaum muda,
4)
Penjajahan Eropa yang dianggap wajar dan terkesan dianggap baik.
Adat kawin
paksa merupakan tema yang paling mendominasi karya-karya angkatan balai
pustaka, seperti yang diceritakan dalam roman Siti Nurbaya. Dalam
karya tersebut dapat kita lihat bagaimana orang tua memiliki kekuasaan penuh
dalam menentukan pernikahan dari anak-anak mereka.
Konflik
antargenerasi terutama generasi tua dan muda merupakan tema berikutnya yang
sering menjadi topik-topik perbincangan dalam karya sastra. Di antara
karya-karya tersebut ada yang berakhir dengan tragis, atau diakhiri dengan
kemenangan kaum tua, namun ada juga beberapa karya yang berani melawan arus
kesusastraan pada masa itu dengan memberikan akhir kemenangan kaum muda dalam
melawan kaum tua. Seperti yang terdapat dalam karya Darah
Muda dan Mencari Anak Perawan. Penokohan dalam karya sastra angkatan
balai pustaka juga dibuat jauh bertentangan antara yang satu dengan yang lain.
Tokoh-tokoh protagonis digambarkan sedemikian sempurna baik dalam bidang moral
ataupun sosial, sedangkan tokoh-tokoh antagonisnya digambarkan sangat jahat dan
tidak beradab. Karya-karya pada masa angkatan balai pustaka merupakan
karya-karya yang merepresentasikan realitas sosial pada masa itu, namun
tentunya karya-karya tersebut harus sejalan dengan politik pemerintahan
kolonial.
f. Pengaruh Angkatan 20 ( Balai Pustaka ) Pada Beberapa Ragam Karya Sastra
Angkatan 20
disebut juga angkatan Balai Pustaka. Balai Pustaka merupakan nama badan yang
didirikan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1908. Badan tersebut sebagai
penjelmaan dari Commissie voor De Volkslectuur atau Komisi Bacaan
Rakyat.Commissie voor De Volkslectuur dibentuk pada tanggal 14 April 1903.
Komisi ini bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia pada
saat itu. Untuk memperoleh bacaan rakyat, komisi menempuh beberapa cara, yaitu:
1)
Mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang
tersebar di kalangan rakyat. Naskah ini diterbitkan sesudah diubah atau
disempurnakan.
2)
Menterjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa.
3)
Karangan pengarang-pengarang muda yang isinya sesuai dengan keadaan hidup
sekitarnya.
Naskah-naskah tersebut
menggunakan bahasa Melayu dan bahasa-bahasa daerah lainnya, serta berupa bacaan
anak-anak, bacaan orang dewasa sebagai penghibur dan penambah pengetahuan. Pada
tahun 1917 Komisi Bacaan Rakyat barubah namanya menjadi Balai Pustaka. Balai
Pustaka menyelenggarakan penerbitan buku-buku dan mengadakan taman-taman
perpustakaan, dan menerbitkan majalah.. Penerbitan majalah dilakukan satu atau
dua minggu sekali. Adapun majalah-majalah yang diterbitkan yaitu:
(1). Sari Pustaka (dalam
Bahasa Melayu, 1919)
(2). Panji Pustaka (dalam
Bahasa Melayu, 1923)
(3). Kejawen (dalam Bahasa
Jawa)
(4). Parahiangan (dalam Bahasa
Sunda)
Ketiga majalah yang terakhir
itu terbit sampai pemerintah Hindia Belanda runtuh.
Lahirnya Balai Pustaka sangat
menguntungkan kehidupan dan perkembangan sastra di tanah air baik bidang prosa,
puisi, dan drama. Peristiwa- peristiwa sosial, kehidupan adat-istiadat,
kehidupan agama, ataupun peristiwa kehidupan masyarakat lainnya banyak yang
direkam dalam buku-buku sastra yang terbit pada masa itu.
Lahirnya angkatan 20 (Balai
Pustaka) mempengaruhi beberapa ragam karya sastra, diantaranya:
1. Prosa
a) R O M A N
Pada ragam karya sastra prosa
timbul genre baru ialah roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Buku roman
pertama Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920. Roman Azab dan
Sengsara ini oleh para ahli dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra
Indonesia. Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan
hal-hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal
yang benar terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan
orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat.
Adapun isi ringkasan roman Azab dan Sengsara sebagai berikut:
Cinta yang tak sampai antara kedua
anak muda (Aminuddin dan Mariamin), karena rintangan orang tua. Mereka saling
mencintai sejak di bangku sekolah, tetapi akhirnya masing-masing harus kawin
dengan orang yang bukan pilihannya sendiri. Pihak pemuda (Aminuddin) terpaksa
menerima gadis pilihan orang tuanya, yang akibatnya tak ada kebahagian dalam
hidupnya. Pihak gadis (Mariamin) terpaksa kawin dengan orang yang tak dicintai,
yang berakhir dengan penceraian dan Mariamin mati muda karena merana.
Genre roman mencapai puncak
yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah
Rusli pada tahun 1922. Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata
saja, tapi mengemukakan manusia-manusia yang hidup. Pada roman Siti
Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan
poligami, membangga-banggakan kebangsawanan, adat yang sudah tidak sesuai
dengan zamannya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam menentukan
jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tentu tercapai.
Persoalan-persoalan itulah yang ada di masyarakat.
Sesudah itu, tambah
membanjirlah buku-buku atau berpuluh-puluh pengarang yang pada umumnya
menghasilkan roman yang temanya mengarah- arah Siti Nurbaya. Golongan sastrawan
itulah yang dikenal sebagai Generasi Balai Pustaka atau Angkatan 20. Genre
prosa hasil Angkatan 20 ini mula-mula sebagian besar berupa roman. Kemudian,
muncul pula cerpen dan drama.
b) Cerpen
Sebagian besar cerpen Angkatan
20 muncul sesudah tahun 1930, ketika motif kawin paksa dan masalah adat sudah
tidak demikan hangat lagi, serta dalam pertentangan antara golongan tua dan
golongan muda praktis golongan muda menang. Bahan cerita diambil dari kehidupan
sehari-hari secara ringan karena bacaan hiburan. Cerita-cerita pendek itu
mencerminkan kehidupan masyarakat dengan suka dukanya yang bersifat humor dan
sering berupa kritik.
Kebanyakan dari cerita-cerita
pendek itu mula-mula dimuat dalam majalah seperti Panji
Pustaka dan Pedoman Masyarakat, kemudian banyak yang dikumpulkan
menjadi kitab. Misalnya:
1.
Teman Duduk karya Muhammad kasim
2.
Kawan bergelut karya Suman H.S.
3.
Di Dalam Lembah Kehidupan karya Hamka
4.
Taman Penghibur Hati karya Saadah Aim
Dengan demikian, ciri-ciri
angkatan 20 pada ragam karya sastra prosa:
Ø Menggambarkan pertentangan paham antara kaum muda dan kaum tua.
Ø Menggambarkan persoalan adat dan kawin paksa termasuk permaduan.
Ø Adanya kebangsaan yang belum maju masih bersifat kedaerahan.
Ø Banyak menggunakan bahasa percakapan dan mengakibatkan bahasa tidak terpelihara
kebakuannya.
Ø Adanya analisis jiwa.
Ø Adanya kontra pertentangan antara kebangsawanan pikiran dengan
kebangsawanan daerah.
Ø Kontra antarpandangan hidup baru dengan kebangsawanan daerah.
Ø Cerita bermain pada zamannya.
Ø Pada umumnya, roman angkatan 20 mengambil bahan cerita dari Minangkabau,
sebab pengarang banyak berasal dari daerah sana.
Ø Kalimat-kalimatnya panjang-panjang dan masih banyak menggunakan
perbandingan-perbandingan, pepatah, dan ungkapan-ungkapan klise.
Ø Corak lukisannya adalah romantis sentimentil. Angkatan 20 melukiskan segala
sesuatu yang diperjungkan secara berlebih-lebihan.
2. Drama
Pada masa angkatan 20 mulai
terdapat drama, seperti: Bebasari karya Rustam Efendi. Bebasari merupakan
drama bersajak yang diterbitkan pada tahun 1920. Di samping itu, Bebasari
merupakan drama satire tentang tidak enaknya dijajah Belanda.
Pembalasannya karya Saadah Alim merupakan drama pembelaan terhadap adat
dan reaksi terhadap sikap kebarat-baratan. Gadis Modern karya Adlim Afandi
merupakan drama koreksi terhadap ekses- ekses pendidikan modern dan reaksi
terhadap sikap kebarat-baratan, tetapi penulis tetap membela kawin atas dasar
cinta. Ken arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin merupakan drama saduran
dari Pararaton. Menantikan Surat dari Raja karya Moh. Yamin merupakan
drama saduran dari karangan Rabindranath Tagore.
Kalau Dewi Tara Sudah
Berkata karya Moh. Yamin.
3. Puisi
Sebagian besar angkatan 20
menyukai bentuk puisi lama (syair dan pantun), tetapi golongan muda sudah tidak
menyukai lagi. Golongan muda lebih menginginkan puisi yang merupakan pancaran
jiwanya sehingga mereka mulai menyindirkan nyanyian sukma dan jeritan jiwa
melalui majalah Timbul, majalah PBI, majalah Jong Soematra. Perintis puisi baru
pada masa angkatan 20 adalah Mr. Moh. Yamin. Beliau dipandang sebagai penyair
Indonesia baru yang pertama karena ia mengadakan pembaharuan puisi Indonesia.
Pembaharuannya dapat dilihat dalam kumpulan puisinya Tanah Air pada tahun 1922.
Perhatikan kutipan puisi di bawah ini:
Di atas batasan Bukit Barisan,
Memandang beta ke bawah
memandang,
Tampaklah hutan rimba dan
ngarai,
Lagi pula sawah, telaga nan
permai,
Serta gerangan lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar
warna,
Oleh pucuk daun kelapa.
Dibandingkan dengan puisi
lama, puisi tersebut sudah merupakan revolusi:
Ø Dari segi isi, puisi itu merupakan ucapan perasaan pribadi seorang manusia.
Ø Dari segi bentuk, jumlah barisnya sudah tidak empat, seperti syair dan
pantun, dan persajakkannya (rima) tidak sama.
Pengarang berikutnya pada masa
angkatan 20 di bidang puisi adalah Rustam Effendi.Rustam Effendi dipandang
sebagai tokoh peralihan.Rustam Effendi bersama Mr. Muh. Yamin mengenalkan puisi
baru, yang disebut soneta sehingga beliau dianggap sebagai pembawa soneta di Indonesia.
Kumpulan sajak yang ditulis oleh Rustam Effendi pada tahun 1924 adalah Percikan
Permenungan.
Perhatikan contoh kutipan
sajaknya:
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi,
pandai menggubah madahan
syair,
Buka beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair,
Sarat-saraf saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
Perubahan yang dibawa oleh
Rustam Effendi melalui Percikan Permenungan (Bukan Beta Bijak Berperi) yaitu:
1)
Dilihat bentuknya seperti pantun, tetapi dilihat hubungan barisnya berupa
syair. Ia meniadakan tradisi sampiran dalam pantun sehingga sajak itu disebut
pantun modern.
2)
Lebih banyak menggunakan sajak aliterasi, asonansi, dan sajak dalam
sehingga beliau dipandang sebagai pelopor penggunaan sajak asonansi dan aliterasi.
Penyair berikutnya adalah
Sanusi Pane. Beliau menciptakan 3 buah kumpulan sajak, yaitu:
1.
Pancaran Cinta (seberkas prosa lirik, 1926)
2.
Puspa Mega (1927)
3.
Madah Kelana (1931)
Sajak yang pertama kali dibuat
adalah Tanah Airku (1921), dimuat dalam majalah sekolah Yong Sumatra.
Dengan demikian, ciri-ciri
puisi pada periode angkatan 20, yaitu:
(1). Masih banyak berbentuk
syair dan pantun.
(2). Puisi bersifat dikdaktis.
BAB III
KESIMPULAN
Balai
Pustaka merupakan suatu angkatan dalam periodisasi sastra yang terkenal dengan
sebutan angkatan pembangkit karena lahir pada masa kebangkitan sastra Indonesia
yaitu pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942. Namun Balai Pustaka juga
dikenal sebagai nama sebuah penerbit yang memang keberadaannya menunjang
penerbitan sastra-sastra pada masa itu. Melihat
kenyataan tersebut maka karakteristik yang membedakan sastra angkatan Balai
Pustaka dengan sastra angkatan lainnya adalah: karya-karyannya kebanyakan
bertemakan kawin paksa, memuat pertentangan paham antara kaum tua dengan kaum
muda, unsur nasionalitas yang terkandung dalam karya sastra belum jelas,
peristiwa yang diceritakan hanya merupakan realitas kehidupan, analisis
psikologi dalam karya sastra masih kurang, karya-karya angkatan Balai Pustaka
bersifat didaktis, bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu umum, serta yang
paling membedakan sastra angkatan Balai Pustaka dengan angkatan lainya yaitu genre
asil karyanya berupa novel, pantun dan syair.
Angkatan Balai Pustaka bisa
disebut masa dimana proses modernisasi karya-karya sastra terjadi. Dimana tidak
lagi terpaut oleh budaya-budaya melayu yang kental.
Balai Pustaka merupakan suatu angkatan yang sangat berpengaruh kepada perkembangan perpustakaan baru terutama yang tertulis dengan huruf latin (Usman, 1979: 15). Hal itu tercermin dengan pindahnya pusat perhatian orang-orang yang berminat kepada kesusastraan ke Balai Pustaka (Jakarta) yang berpengaruh pada perkembangan bahasa dari bahasa melayu baru (yang banyak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa daerah dan bahasa surat kabar) kemudian menjelma menjadi bahasa Indonesia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka telah membuka hati para penulis
untuk mau memperlihatkan hasil karyanya yang dulunya menggunakan bahasa daerah
kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa bangga
berbangsa Indonesia. Saelain itu, dengan munculnya angkatan Balai Pustaka maka
telah membuka semangat dan kesadaran para penulis untuk mempersatukan
daerah-daerahnya demi keutuhan bangsa Indonesia. Disisi lain
Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama suatu penerbit besar yang berdiri pada
sekitar tahun 1920an yang pada tahun tersebut beriringan dengan munculnya
angkatan Balai Pustaka. Munculnya angkatan Balai Pustaka memang disesuaikan
dengan karya-karya besar yang terkenal pada waktu itu yang sebagian besar
diterbitkan dari penerbit Balai Pustaka Jakarta.
Berbicara mengenai periodisasi
sastra khususnya Balai Pustaka maka tidak menutup kemungkinan kalau meninjau
tentang keadaan sosial pada tahun 1920an, dimana menurut Teeuw (1980: 15) pada
tahun tersebut merupakan tahun lahirnya kesusastraan Indonesia modern. Pada
waktu itu para pemuda indonesia mulai menyatakan perasaan dan ide yang berbeda
dengan masyarakat setempat. Perasan itu dituangkan dalam bentuk sastra namun
menyimpang dari bentuk sastra melayu, jawa, dan sastra-sastra lain sebelumnya.
Melihat kenyataan tersebut,
khususnya menyangkut tentang pengkajian masalah karakteristik sastra angkatan
Balai Pustaka sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Maka penulis ingin
menganalisis dengan tujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang angkatan Balai
Pustaka yang mencakup tokoh, karakteristik, dan hasil karyanya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
2. Rosisdi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sejarah
Sastra Indonesia. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
3. Sarwadi. 1999. Sejarah Sastra Indonesia Modern.
Yogyakarta: Kurrnia Kalam Semesta.
4. Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia. Flores:
Nusa Indah Arnoldus.
5. Teeuw, A. 2002. Sastra dan Ilmu Sastra.
Yoyakarta: Universitas Negeri Yoyakarta.
6. Usman, Zuber. 1979. Kesusastraan Baru Indonesia.
Jakarta: Gunung Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar